Wednesday, 10 December 2014

Rock n Roll : Sebuah Cara Pandang

"Metu sek yoh golek udut. Eh, kowe ora ngerokok ya?" (Keluar dulu yuk cari rokok. Eh, kamu nggak ngerokok ya?)

"Ora ndes, wes mandeg ket mbiyen-mbiyen." (Enggak bro, udah berhenti dari dulu.)

"Wah, kowe i padahal rock n roll lho men, tapi ora ngerokok." (Wah, padahal kamu rock n roll, man, tapi nggak ngerokok)

"Haha, rock n roll kui cara pandang ndes, ora sekedar lifestyle." (Haha, rock n roll itu cara pandang bro, bukan sekedar lifestyle.)

"Yoi, dudu mung gaya hidup." (Yoi, bukan cuma gaya hidup.)



-------------



Ketika pertama kali mendengar frasa 'Rock n Roll', apa yang pertama kali muncul di pikiranmu? Rebel? Musik keras? Band? Nggak rapi? Gondrong, jaket kulit, jaket jeans, ripped jeans, boots? Rokok? Beer? Kalau sekedar hal-hal itu, mungkin bisa dibilang saya sudah hampir khatam.




Bukan. Bukan sekedar itu. Kutipan-kutipan di atas adalah petikan obrolan saya bersama dengan sahabat lama saya, rekan band saya di kala remaja, Jono. Belum berubah, hal yang biasa kami bicarakan kala bertemu nggak pernah jauh dari musik, seni, masa lalu, masa depan, dan yang terpenting dan terdengar keren adalah soal idealisme. Ya, mumpung masih muda, idealis adalah suatu kewajiban. Kesamaan hobby, selera dalam berkesenian, dan beberapa cara pandang membuat kami dengan mudah kembali ke masa lalu, mulai dari jaman di mana kami masih berseragam putih abu-abu dan aktif memuja skena 'batu' dan 'logam', hingga perubahan-perubahan yang terjadi pada teman-teman lainnya seperti si ini yang sangat kami sayangkan karirnya: masih aktif nge-band di skena Jejepangan barsama sebuah band visual kei dengan make up dan gaya sissy di tiap penampilannya, atau si itu yang kini fokus mendalami agama tapi bagi kami cenderung kebablasan, atau si itu juga yang sibuk pacaran: oke yang ini dimaklumi.

Jauh, ke sana kemari, sampai pada titik di mana kami berdua mengamini sebuah kalimat dari No Use For A Name dalam Not Your Savior-nya, "Everyone changed, everyone's cool, everyone sucks!" dan berlanjut pada sebuah kesamaan pandangan dengan Ellegarden dalam Perfect Day-nya, "How come no one stays the same? It feels like I'm a primitive." Benar, rasanya seperti kami masih terperangkap pada idealisme kuno yang entah kapan akan runtuh. "Mereka yang mulai dewasa atau kita yang masih gini-gini aja," ungkap Jono sejalan dengan dua kutipan sebelumnya.

Ya, beginilah saya. Beginilah kami. Tapi bukan berarti kami terhenti pada masa itu. Kami bahkan sudah punya tujuan masing-masing, apa yang akan dilakukan setelah lulus dari penjara bertajuk kampus ini. Yang jelas kami akan terus hidup dengan apa yang kami pandang sebagai rock n roll tadi. Oke, tulisan ini jadi meluber ke mana-mana, yeah my bad, kebiasaan saya yang suka nulis tanpa kerangka dan konsep. Kembali ke rock n roll. Saya, dan mungkin Jono, kami yang dulu, sama dengan orang kebanyakan. Ketika pertama kali mendengar kata rock n roll, yang terbersit di kepala kami adalah gaya hidup yang keras dan liar, bebas, memberontak. Pokoknya terlihat keren! Kami di masa itu bahkan dengan bodohnya memproklamirkan bahwa kami cuma akan mendengarkan musik rock, terutama rock lawas. Rokok, ripped jeans, jaket kulit, beer, dan sesaji rock sebangsanya bukanlah suatu hal yang asing. Bodoh? Iya. Tanpa menunjukkan kemunafikan, kami pernah menjadi orang-orang dengan pandangan sesempit itu. Labil? Ya memang lagi umurnya...

Yah, masa lalu adalah salah satu hal yang paling mudah untuk ditertawakan...

Waktu berjalan, kami yang sekarang adalah kami 4 tahun dari saat itu. Semakin banyaknya insight, semakin luasnya pandangan, berubah pula cara menjalani hidup. Kembali ke kutipan percakapan awal, saya sebut sebelumnya bahwa rock n roll itu adalah cara pandang. Ya, kalau dibilang rock itu gaya hidup, saya menganggapnya lebih! Persis seperti kata Dewey Finn, seorang tokoh fiksi dalam film School of Rock buah peran dari Jack Black, yang kira-kira berpesan, "Rock bukan tentang menjadi bajingan, blablablah," sayang saya lupa bagaimana tepatnya dan saya sedang tak banyak waktu untuk kembali mencarinya. Lagipula film itu sudah terlanjur hilang dari hard disk komputer saya. Benar, seandainya rock n roll cuma dikaitkan dengan hal-hal yang saya sebutkan di awal tulisan ini, tentu saja semua bajingan di luar sana bisa dibilang adalah seorang rocker. Tapi tidak, kalaupun iya, hanya bungkusnya saja yang bertajuk rock.

Sejalan dengan perkataan Dewey, saya pun menganggap bahwa rock n roll adalah sebuah cara pandang. Memang 'rebel' adalah dasar dari cara pandang ini, tapi rebel nggak melulu soal pemberontakan secara negatif dan radikal seperti kebanyakan pemikiran. Mungkin benar kalau musik keras, beer, rambut gondrong, gaya serampangan, dan lain sebagainya adalah suatu bentuk dari pemberontakan, tapi bukan itu esensinya, hal-hal itu tadi hanya sebagian kecil dari pemberontakan yang diusung oleh semangat rock n roll itu sendiri. Sama persis seperti punk yang diidentikkan dengan street, yang padahal street hanyalah sebuah irisan kecil dari keseluruhan punk beserta idealismenya. Rebel yang saya maksud di sini adalah rebel yang sifatnya memberontak dari sebuah tatanan yang itu-itu saja, yang memenjarakan kebebasan untuk menjadi 'lebih maju' karena sifatnya yang statis, persis seperti rebel yang dimaksud oleh Paul Arden dalam bukunya It’s Not How Good You Are, It’s How Good You Want To Be.

Ketika Jono bilang, "Wah, padahal kamu rock n roll, man, tapi nggak ngerokok," dengan cepat saya jawab bahwa rock adalah soal cara pandang, bukan sekedar gaya-gayaan. Oke, asumsikan cara berpenampilan saya saat itu (di mana saya sangat suka memakai ripped jeans, boots, dan jaket jeans belel, ditambah dengan rambut yang saya biarkan memanjang) dengan gaya hidup rock n roll, benar, saya memang mengadopsi style rock n roll dalam berpenampilan, tapi rock bagi saya nggak berhenti begitu saja di persoalan style dan musik yang saya dengarkan. Rock bagi saya lebih kepada bagaimana kamu menyikapi hidup. Saya ambil contoh, saya lebih menganggap orang-orang di skena indie sebagai rockers (meskipun mereka nggak melulu terlihat sangar atau mengusung musik rock di band besutannya) daripada para personil The Rock Indonesia. Kurang jelas? Intinya cara hidup mereka lebih mengusung semangat rebel dari rock n roll itu sendiri.

Lalu, kaitannya dengan teman-teman yang saya ceritakan sebelumnya? Yah, mungkin di mata kami mereka yang sekarang nggak se-rock n roll dulu, nggak se-rock n roll Jono yang masih bermusik keras sembari menghisap rokok atau nggak se-rock n roll saya yang masih gini-gini aja menyibukkan diri dengan apalah 'do it yourself' stuff-nya. Tapi kembali lagi ke cara pandang... Mungkin jalan yang mereka tempuh belakangan sudah mengandung esensi 'rebel' bagi mereka sendiri yang menjadikannya tetap nge-rock di jalannya masing-masing. Mungkin saja cara si ini membesarkan band visual kei-nya dengan cara independen yang ngerock banget meskipun penampilannya 'yucks', atau si itu yang sibuk mendalami agama dengan slogannya "santri rock n roll", atau si itu lagi yang juga ngegombalin pacarnya dengan lagu-lagu rock klasik... Nggak ada yang tau selain mereka sendiri yang menjalani, yang jelas rock adalah soal cara pandang... At least for me...

Hah, sudahlah... Kebiasaan saya... Nggantung...





Chandra - Solo, 10 Desember 2014. Sedang sangat suka pada The Velvet Underground.






No comments:

Post a Comment

mari kita mulai diskusi kita dari sini