Friday 1 December 2017

Saman dan Larung



10/10 untuk Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami. Terserah kamu sependapat atau tidak, ini subjektif. Kali pertama aku kenal buku ini adalah dari sebuah artikel jurnal komunikasi tentang representasi perempuan dalam novel Larung. Dari yang kubaca dalam artikel, awalnya aku mengira novel ini bercerita tentang 4 sahabat di kota metropolitan dengan kehidupan seksual dan intrik romantisme masing-masing. Beberapa hari setelahnya aku mendapat pinjaman novel Larung dari pacarku, milik mamanya tepatnya, dan perkiraanku salah. Novel ini jauh jauh dan jauh lebih kompleks daripada sekedar itu. Politik, sosial, ketidak adilan, seksual, bahkan agama dan ketuhanan menjadi bahasan dalam novel yang kebanyakan mengambil setting di jaman orba ini. Beberapa hari setelahnya, aku tertarik untuk segera mencari dan membeli prequel-nya, Saman. Harusnya Larung adalah buku kedua, tapi keduanya bisa dibaca terpisah, jadi buatku tak masalah mana yang hadir lebih dulu. Membaca Saman lebih memantapkanku untuk mengamini pendapat bahwa karya ini monumental, dengan bukti 30 kali cetak ulang dan terjemahan dalam 8 bahasa. Integritas penulisnya serta background pengetahuan dan riset yang mendalam membuatku mengenal banyak hal baru saat membacanya; seperti di antaranya pergerakan buruh dan petani, atau etimologi kata onani. Berbagai penghargaan menjamin kualitas kesastraannya, maka dari itu novel ini patut banget dibaca kamu-kamu khususnya yang sudah dewasa, tentunya dengan catatan bahwa kamu mewajarkan imajinasi tentang persenggamaan atau terbiasa dengan kata-kata vulgar macam kontol, perek, dan sebagainya, hellooow ini bukan novel Tere Liye yang menye-menye!

No comments:

Post a Comment

mari kita mulai diskusi kita dari sini