Saturday 27 June 2015

Good night, kid...

Just Follow Your Passion - @chanchanscraw



Ijinkan saya bercerita...

Malam tadi, ada salah satu follower saya di instagram ngomen ini-itu dan tanya-tanya soal desain dengan polosnya, padahal saya bukan desainer pro ya, ah saya jadi tersanjung. Penasaran dengan orang ini, saya pun membuka laman profilnya. Yang sedikit mengejutkan buat saya adalah ketika saya membaca tulisan di bio-nya, orang ini nulis "dream to be designer, 10 yo", dari situ saya tahu bahwa pemilik akun ini adalah seorang gadis kecil berusia 10 tahun, dan benar saja, selain postingan gambar-gambar tangan foto-foto yang diunggahnya memang menunjukkan kalau dia masih bocah.

Era ini, anak 10 tahun sudah akrab dengan jejaring sosial macam instagram, dan di situ dia nggak canggung buat menanyakan hal yang mungkin dapat dia kemas sebagai penunjang ilmunya. Begitu senang rasanya melihat rasa keingin-tahuan seseorang akan sesuatu, yang menunjukkan bahwa orang tersebut selalu ingin berkembang.

Saya jadi membayangkan, hmm, dulu ketika umur saya 10 tahun saya ngapain ya? Ah iya, nggambar sambil nutup-nutupin kertasnya karena malu dilihat orang.

Selanjutnya pikiran saya menerawang bertanya-tanya, tentang gimana seharusnya anak-anak di era ini jadi benar-benar hebat nantinya. Kebanyakan orang seringkali menilai keakraban anak dengan gadget hanya dari segi negatifnya, tapi untuk kasus ini saya sebaliknya, saya bilang mereka hebat.

Hebat?

Iya dong hebat, bisa dibilang mereka mencuri start kan. Sebagai contoh, si anak yang barusan saya bicarakan di atas. Di usia 10 tahun, anak ini sudah berani men-share karyanya secara online dan menariknya, dia nggak malu-malu minta pendapat orang lain mengenai karyanya, which is dia sudah mulai membangun komunikasi dengan audiensnya sendiri. Keren kan? Bisa dibayangkan, ke depannya anak ini bakal berkembang kayak gimana Katakanlah di usia 10 tahun dia sudah aktif menekuni passion-nya, maka sekitar 10 tahun lagi, ketika dia menjadi seorang seumuran saya, sangat mungkin kalau anak ini sudah menjadi seorang profesional.

Bicara tentang profesional, kaitannya dengan paragraf sebelumnya, sering kali saya merasa kecewa. Saya bukannya tak seberuntung anak itu. Di usia 10 tahun saya sudah mulai belajar menggambar, bahkan orang tua saya memasukkan saya ke sebuah sekolah lukis demi mengasah sesuatu yang katanya bakat saya tersebut. Ya, memang beberapa penghargaan lomba menggambar saya dapatkan waktu itu, tapi hal tersebut tidak menjadikan saya ingin benar-benar fokus untuk menggambar.

Masuk usia SMP, saya tetap menggambar, tapi hanya sebagai hobi, bukan menekuninya sebagai sesuatu yang dipandang mampu menunjang cita-cita. Mungkin pandangan orang saat itu, termasuk ayah saya, yang menganggap bahwa seni bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan sebagai penopang hidup turut mempengaruhi pola pikir saya bahwa cita-cita menjadi seniman adalah suatu kesalahan. 

Jujur saya meenyesal.

Saya labil. Ya, memang waktunya labil.

Bukan hanya menggambar, saya juga adalah orang yang suka membaca, dan hal tersebut tentu saja menjadikan saya seorang yang juga gemar menulis. Saya yang labil saat itu mulai tertarik untuk menulis. Beberapa kali tulisan saya dimuat dalam majalah sekolah, tapi hal tersebut juga tak membuat saya menjadikan dunia tulis menulis sebagai tujuan akhir saya. Jujur saya yang waktu itu adalah seorang anak yang punya beberapa hobi di bidang kreatif, namun tak mampu menentukan satu yang menjadi fokusnya.

Selepas itu, saya mencoba menggabungkan hobi menulis dan menggambar saya, dan tentu saja komik adalah hasilnya. Saya ingat betul waktu itu saya membuat komik tentang olah raga basket yang saat itu saya ikuti kegiatan ekstrakurikuler-nya di sekolah, dan sengaja menempelkan komik-komik saya tersebut di tembok dengan harapan orang tua saya melihat dan membacanya, karena saya terlalu malu untuk menunjukkan karya-karya saya, bahkan pada orang tua saya.
Benar saja, ibu saya melihatnya. Saya ingat betul beliau berkata, "Kalau kamu emang niat bikin komik, ya ditekuni! Ibu punya kenalan-kenalan di bidang penerbitan, suatu saat Ibu bisa bantu masukin kalau kamu emang minatnya di situ.". Beda dengan Ayah saya, ibu saya berpikiran jauh lebih terbuka. Tapi lagi-lagi hal tersebut belum cukup mampu menjadikan komik sebagai sesuatu yang saya tuju.

Waktu berjalan.

Saya lulus SMA.

Saya belum dewasa, tapi mungkin bisa dikatakan saya tak selabil sebelumnya. Waktu itu adalah masa peralihan dari SMA ke Mahasiswa. Saya yang tengah menganggur kurang kerjaan mulai memikirkan hal apa lagi yang bisa saya lakukan. Jadilah saya membentuk sebuah band rock bersama teman-teman. Namun band saja belum cukup mampu mengobati kegelisahan saya akan passion. Di tengah kegelisahan itu, saya mulai memikirkan kembali kalimat Ibu saya soal komik. Saya mulai lagi menggambar komik. Saya belajar. Beberapa karya saya unggah di website-website komik lokal. Dari situ saya paham bagaimana sistem kerja penerbitan, komik-komik yang lolos seleksi, dan lain sebagainya. Dari situ pula saya sadar bahwa kemampuan saya belum sebanding untuk menembus level penerbitan, dan lagi saya merasa bahwa gaya gambar dan gaya bercerita saya tidaklah sesuai dengan keinginan pasar. Bukannya merasa tercambuk untuk lebih giat belajar, saya justru mulai mencari hal-hal baru lagi.

Nggak munafik, saya adalah seseorang yang mudah bosan dan kurang bisa fokus pada satu hal. Dan lagi, saya yang masih begitu muda belumlah cukup dewasa untuk berpikir bahwa ada kalanya untuk terus maju kita harus lebih melenturkan idealisme kita.

Berawal dari kebosanan akan hal yang saya tulis sebelumnya, akhirnya saya bertemu dengan skena zine, majalah independen yang benar-benar bebas dan suka-suka. Saat itu saya merasa inilah dunia saya, dunia yang cocok bagi seorang keras kepala yang hanya mau berbuat sesuatu yang sesuai dengan keinginannya. Beruntunglah saya, di skena ini saya menemukan banyak hal, mulai dari teman hingga pengalaman. Skena ini pulalah yang membuka lebar-lebar mata saya bahwa mengikuti passion adalah yang terpenting, dan inilah passion saya, menggambar, menulis, bebas!

Tapi lagi-lagi hal tersebut belum mampu mengeluarkan saya dari keresahan dan kegelisahan tentang passion kaitannya dengan masa depan. Karena saya sadar, hal tersebut tidak akan mampu menghidupi saya kelak. Di pikiran saya masih saja dihantui pemikiran bahwa industri kreatif tidak bisa dijadikan pegangan, sama dengan gaya berpikir kolot mereka, mereka, dan mereka.

Waktu berjalan, dan berjalan.

Bisa dibilang saya sudah cukup dewasa saat saya berkesempatan untuk mengikuti program magang di salah satu ahensi periklanan di ibu kota. Dari situ pandangan saya mulai jauh lebih terbuka. Dari situ pula saya bisa menetapkan kalau ke depannya kehidupan saya nggak akan bisa jauh dari industri kreatif; menulis dan menggambar.

Kecewakah saya? Tentu. 

Sering kali terbersit rasa bersalah kenapa saya tak mengikutinya sejak awal. Katakanlah ketika saya berusia 10 tahun Ibu saya memasukkan saya ke sekolah lukis dan saya menekuninya sebagai suatu hal yang sama pentingnya dengan cita-cita, pastilah saat ini kemampuan saya jauh lebih baik dari sekarang karena diasah sejak lama. Katakanlah jika saat itu saya percaya pada kata-kata Ibu saya dan tidak menyerah begitu saja pada dunia komik, saat ini mungkin saya menjadi lebih ahli. Tapi sudahlah, semuanya sudah menjadi "seandainya". Saat ini yang bisa saya lakukan hanya menjalani dan berusaha jadi lebih baik lagi.

Lalu adakah korelasi antara kisah masa kanak-kanak hingga remaja saya dengan anak yang saya ceritakan sebelumnya? Tentu saja ada. Saya merasa begitu senang dan terobsesi akan seseorang yang berjalan mengikuti passion-nya, di jalan di mana seharusnya dia ada, dalam hal ini anak yang saya sebut di atas. Saya benar-benar senang melihatnya meskipun tidak secara langsung, saya benar-benar senang menanggapi komentar-komentarnya, saya benar-benar terobsesi pada rasa ingin tahunya, saya senang membayangkan bagaimana kelak ia menjadi pro di bidangnya, though she would come to know that this world actually sucks.

Iya, sejalan dengan kata Hosomi yang menyebutkan bahwa "this world is full of shit", seperti yang juga saya bahas di sini, anak tersebut juga akan menyadari bahwasanya semakin kompleksnya kehidupan seiring dengan pertumbuhannya menjadi dewasa akan menyadarkannya bahwa "this world is full of shit". Tapi tenang, saya tak mau berpikiran buruk tentangnya, I'm not so afraid cause she won't be like me :)

Ya, semoga dia tetap fokus berjuang di jalannya, dan kelak benar-benar jadi profesional di bidangnya. Jangan jadi orang yang serba nanggung kayak saya :)

I wish you a great luck, and...

Good night, kid...





Solo, 27 Juni 2015

Chandra sedang sering terinspirasi oleh anak-anak yang membuatnya semakin ingin berubah jadi lebih baik.

No comments:

Post a Comment

mari kita mulai diskusi kita dari sini