Pagi itu hangat. Waktu menunjukkan pukul 8 dan tentu saja itu jam 8 pagi, karena sudah saya sebut di kalimat sebelumnya. Saya sudah bangun, sudah mandi, tapi belum makan. Nanti saja di kampus, pikir saya.
Motor saya nyalakan, pakai kontak dan distarter tentunya. Mau ke mana saya? Tentu saja ke kampus, kan sudah saya sebut juga sebelumnya.
Berjalanlah motor saya dengan saya di atasnya. Terus berjalan, sampai saya melewati sebuah taman kanak-kanak yang bisa saya lihat banyak anak-anak di sana, namanya juga taman kanak-kanak. Saya melewatinya. Tapi tiba-tiba saja saya ingin mampir sebentar entah untuk apa. Saya balik arah motor saya dan berhenti di depan taman kanak-kanak tersebut. Saya diam. Mengamati.
“Good morning kids, how do you feel to have been slid out to this world? I wish it was not so bad, but I think no way you feel that way…”
Mereka terlihat bahagia. Mereka siapa? Tentu saja anak-anak yang saya amati. Tapi tidak dengan ibu-ibu yang mengantarkannya. Kenapa? Mana saya tau. Sudahlah, lupakan ibu-ibu yang beberapa mengamati si saya yang mungkin tampak begitu urakan di mata mereka. Biarin. Yang penting kata pacar saya, saya keren. Emang punya pacar? Dulu sih, sekarang enggak.
Kembali ke anak-anak. Mereka masih tampak bahagia seperti yang saya katakan sebelumnya. Terlihat dari senyum dan tawa. Serta senda gurau yang dilontarkan antara satu dan lainnya. Ada yang berkerumun seperti muda-mudi masa kini di suatu gigs yang menampilkan band yang mungkin mereka sukai. Ada yang menyendiri, sibuk dengan dunianya sendiri, mungkin berkomunikasi dengan alien. Ada yang berlarian. Ada yang bergelantungan, tapi bukan di pohon randu karena berbahaya, melainkan di sebuah apa ya itu namanya mainan-mainan yang sering diletakkan di taman kanak-kanak, itulah.
Dalam hati saya bertanya, apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan? Bisa terus tertawa-tawa di dunia yang seringkali mengintimidasi ini. Tidakkah mereka resah? Tidakkah mereka takut? Sepertinya tidak, karena mereka bukan saya yang tengah resah menyelesaikan skripsi, isu durjana mahasiswa masa kini. Yang tengah takut menghadapi revisi itu, anu, dan ini.
“Good morning kids, how does it feel to have been kicked out to this world? I wish you like the morning sun, it’s one of the most beautiful things…”
Saya masih berpikir. Apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan. Sepertinya hanya hal-hal yang membuat bahagia. Misalnya? Bermain, tidur siang, bercanda, slenge’an, jajan, menggambar, berkhayal, anu, anu, dan anu.
Dalam hati saya mulai merasa iri.
Kenapa saya harus merasa iri? Karena mereka santai. Dan bahagia. Memang saya tidak bahagia? Sorry, saya juga bahagia. Saya lahir di keluarga yang lumaya keren dengan orang tua yang cukup keren. Saya punya teman-teman yang keren. Saya menjalani hobi yang cukup keren. Dan sepertinya orang-orang melihat cara saya menjalani hidup adalah lumayan keren. Iya, katanya saya santai, apa adanya, ngikutin passion, dan apalah yang kelihatannya keren gitu buat mereka. Padahal kan Cuma kelihatannya ya. Dan kelihatannya dari mereka. Belum terbukti validitasnya karena mereka belum mengkroscek langsung ke saya. Huh, dasar manusia!
Saya memang bahagia, setidaknya cukup bahagia. Bisa lahir di dunia yang membahagiakan buah karya Tuhan Yang Maha Kuasa, meskipun seringkali buah karyanya ini mengintimidasi juga.
Tapi…
Tapi…
Bukan berarti saya sebahagia yang kalian lihat biasanya. Kalau digali, di dalam saya yang kata kalian selalu bahagia ini terdapat keresahan-keresahan, ketakutan, kesemruwengan, keinian, keituan, keanuan, dan ke-kata benda-an lainnya.
“You’d come to know as you grow up this world is full of shit!”
Hidup ini nggak melulu lurus dan membahagiakan kayak yang dialami mereka yang saat ini saya lihat. Mereka itu lho, anak-anak itu. Setidaknya mereka belum. Belum apa? Belum tahu kalau nyatanya hidup ini… Hidup ini... Kompleks... Penuh dengan ini dan itu. Makanya mereka bahagia terus.
Nggak kayak saya, nggak kayak kamu, nggak kayak kita yang katanya dewasa. Yang mulai mikir ini, anu, dan itu. Yang mungkin mulai lupa caranya menikmati matahari pagi karena keburu berangkat ke kantor atau masih tidur gegara lembur semalam. Yang mungkin mulai lupa kalau sebenarnya apa saja bisa ditertawakan. Misal, bu dosen yang susah ditemui, lucu, mungkin dia sedang sibuk piknik ke planet venus. Atau, si mantan yang sudah peluk-pelukan sama orang lain, lucu, mungkin orang lainnya teletabis jadi enak buat peluk-pelukan. Atau, apalah, ketawain aja!
Akhirnya saya tertawa. Karena apa? Karena hidup saya lucu, hidup kamu lucu, hidup kita yang katanya dewasa lucu. Kalau dibandingkan dengan mereka, anak-anak, hidup kita lucu, hidup mereka enggak. Karena hidup kita kompleks, lebih banyak yang bisa ditertawakan. Sedangkan hidup mereka, lurus, gitu-gitu aja, semuanya bahagia.
“So I wish you don’t grow up, and I wish you don’t get hurt, and I wish you don’t notice that the world is shit!”
Saya tidak tertawa lagi. Sudah cukup. Sekarang saya merasa kasihan karena posisinya kini dibalik. Saya bisa belajar menikmati hidup dari mereka, anak-anak. Tapi mereka kasihan. Iya dong kasihan. Kasihan karena mereka yang polos, tanpa beban, dan tentunya tanpa bekal, nantinya akan mengalami kompleksnya hidup seperti apa yang saya dan kita alami. Mereka nggak akan lagi terus-terusan tertawa dan cuma melakukan hal-hal yang membahagiakan, kasihan…
“And I wish you don’t be sad, but I’m not so afraid cause you won’t be like me…”
Tapi jangan sedih, namanya juga hidup… Semua mengalami. Saya, kamu, dan kita pernah menjadi seperti mereka, bahagia, tanpa beban, dan pipis di celana. Suatu saat, mereka ganti yang akan menjadi seperti kita, dewasa, banyak masalah, mikir ini, anu, itu, tua, dan sebagainya.
Rasanya sudah cukup mengamati anak-anak ini. Saya sudah tidak merasa iri. Saya sudah mengucap syukur.
Waktu menunjukkan pukul 9. Masih pagi. Tapi saya punya janji di kampus jam sembilan pagi. Berarti saya sudah telat? Ya sudah… Yang penting saya bahagia.
Motor saya nyalakan, pakai kontak dan distarter tentunya. Mau ke mana saya? Tentu saja ke kampus, kan sudah saya sebut juga sebelumnya. Dan paragraf ini hanya meng-copy alinea dua…
Solo, 21 Juni 2015
Sedang mendengarkan "Good Morning, Kids"-nya Ellegarden.
Sering tertekan meskipun tampak bahagia dan sedang belajar untuk bahagia yang benar-benar bahagia.
No comments:
Post a Comment
mari kita mulai diskusi kita dari sini