Sunday, 18 August 2013

On Genealogy of Masochism

Semuanya terjadi tanpa terkendali. Kedua tangannya memelukku. Erat... Semakin erat. Bahkan kini aku pun sulit untuk mengatur laju nafasku sendiri. Bibirnya yang pucat mulai mendekati bibirku. Dia menciumku. Dalam... Semakin dalam. Dapat kurasakan lidahnya yang hangat melumat lidahku. Taringnya yang tajam menggerat bibirku hingga tak sedikit darah yang mengalir dari koyakan yang tercipta olehnya.

Semakin lama dapat kurasakan lidahnya bergerak semakin dalam menyusuri rongga mulutku, tenggorokan, kerongkongan, dan setelahnya dapat kurasakan lidahnya menari di rongga dadaku. Andai saja mataku mengaplikasi teknologi X-Ray, mungkin saja dapat kulihat bagaimana lidahnya yang kian panjang meliuk bagai mamba menjalari rongga kerongkonganku. Aku masih terdiam, dengan mata terbelalak tak bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi, sementara jemari tangannya yang lentik dihiasi kuku dengan ujung lancip mulai mencakari punggungku. Tengkukku. Leherku. Menghasilkan sayatan-sayatan dalam yang sangat mudah kurasakan nyeri dan perihnya.

Tubuhku mulai basah. Basah dengan darah bercampur keringat yang dapat kuingat jelas bagaimana anyirnya. Tanpa kusadari sayatan-sayatan kukunya berpindah ke bagian depan tubuhku. Seketika ia cekal dadaku, membelahnya, merobek tepat di tengah semudah tangan anak-anak yang merobek selembar tisu menjadi dua. Ya, selemah itulah jaringan epidermis dan lapisan ototku yang tersusun menjadi daging baginya. Lemah dan rapuh. Tapi...

Aku belum mati.

Kini bisa kusaksikan lidahnya yang masuk melalui rongga mulutku menari keluar melewati celah lebar yang diciptakannya di dadaku. Ini gila. Bagaimana bisa mulut mungilnya menampung lidah sepanjang itu. Bagaimana cara dia menyimpannya? Dalam bentuk gulungan kah? Dilipatkah? Entahlah, ini semua diluar akal sehatku.

Ditariknya kembali lidahnya keluar melalui jalan yang sama, rongga kerongkongan, tenggorokan, dan mulutku. Entah karena dia mulai lelah atau bosan dengan permainan yang ia ciptakan. Kini bisa kusaksikan wajah cantiknya dengan bibir mungil tanpa lidah yang menjulur panjang tidak wajar. Permainannya berubah. Perhatiannya teralihkan. Kini kedua tangannya masuk ke dalam tubuhku. Tepat, melalui celah lebar yang sebelumnya ia ciptakan. Menembus dan mematahkan tulang dada dan iga yang menjadi pertahanan organ dalamku.

Persis seperti seorang anak mengobok-obok gelas akuariumnya, dilakukannya hal yang sama hanya berbeda media. Ditariknya keluar sebelah tangannya. Tapi tunggu, bukan sekedar tangan kosong. Itu jantungku. Ia keluarkan jantungku untuk kemudian menjilati dan... Memakannya! Sial! Dia memakan jantungku!!! Cipratan darah deras memancar dari organ pemompa dalam tubuhku itu ketika gigi-gigi tajam mengoyaknya... Tapi tunggu...

Aku belum mati...

Dapat kusaksikan ia menyeringai, menikmati kecapan demi kecapan mulutnya melumat jantungku satu-satunya. Lagi, tangan sebelahnya keluar dengan menggenggam ginjalku. Terus bergantian kedua tangannya keluar masuk tubuhku memindahkan semua isinya ke dalam mulut mungilnya. Semua. Jantung, ginjal, hati, menghisap usus-ususku, meminum darahku, bahkan memakan paru-paruku. Tapi tunggu...

Aku tidak mati...

Bisa kusaksikan ia tersenyum manis menikmati hidangan yang disiapkan Tuhan untuknya ; aku. Kini ditariknya keluar usus dua belas jari dari perutku. Baru kusadar ternyata sepanjang itu. Diikatkannya pada kedua tanganku, entah dengan maksud apa, mungkin menahanku supaya tidak meronta meskipun sedari tadi aku hanya diam takjub menyaksikan bahkan menikmati perbuatannya kepadaku. Aku tidak melawan. Aku tidak marah. Aku tidak kesal. Dan... Aku menikmatinya. Aku tidak mati...

Kini tanganku terikat. Dapat kalian bayangkan? Terikat erat dengan organ dalam kalian sendiri. Tapi kalian tidak mati. Dia tersenyum. Tak dapat kubayangkan kengerian apalagi yang akan dilakukannya pada tubuhku. Ya, tubuhku. Tapi tunggu... Tubuh bagian atasku kini tak lebih dari sekedar ruang kosong dengan bercak darah di sana-sini. Lalu apa lagi yang akan ia nikmati? Aku lupa kalau aku masih punya organ di bawah perutku hingga ia mengingatkannya dengan tatapan berbinar ke arah itu.
Aku tak dapat memikirkan apapun selain menyadari bahwa perhatiannya tertuju ke arah itu. 

Lalu...






Semuanya putih... Bahkan setelah kubuka mata dan kucoba mengedip-kedipkannya beberapa kali mengatur banyaknya cahaya yang musti masuk untuk kembali menormalkan pandanganku. Tapi sama... Semua putih... Apa aku mati? Apa aku bermimpi? Entahlah... Yang jelas saat ini tubuhku kembali utuh sama seperti sedia kala, sebelum gadis itu meluapkan kesenangannya padaku...






Solo, 18 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment

mari kita mulai diskusi kita dari sini